Selasa, 29 November 2011

KECERDASAN SPIRITUAL


Pengertian Kecerdasan Spiritual
Menurut Munandir (2001 : 122) kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. 
Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.

Sementara itu Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.  Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.

Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.

Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.

Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. 

Kecerdasan spiritual menurut Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau jiwa manusia. Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya  menuju kearifan, dan untuk mencapai  kebahagiaan yang abadi.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.

Minggu, 30 Oktober 2011

PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN


A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.

Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga kependidikan pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.

Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan.

B. PEMBAHASAN

 Peranan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Secara garis besar, ruang lingkup tugas kepala sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua aspek pokok, yaitu pekerjaan di bidang administrasi sekolah dan pekerjaan yang berkenaan dengan pembinaan profesional kependidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik – baiknya, ada tiga jenis ketrampilan pokok yang harus dimiliki oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu ketrampilan teknis ( technical skill ), ketrampilan berkomunikasi ( human relations skill ) dan ketrampilan konseptual ( conceptual skill ).

Menurut persepsi banyak guru, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah terutama dilandasi oleh kemampuannya dalam memimpin. Kunci bagi kelancaran kerja kepala sekolah terletak pada stabilitas dan emosi dan rasa percaya diri. Hal ini merupakan landasan psikologis untuk memperlakukan stafnya secara adil, memberikan keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku dan melaksanakan tugas.

Dalam konteks ini, kepala sekolah dituntut untuk menampilkan kemampuannya membina kerja sama dengan seluruh personel dalam iklim kerja terbuka yang bersifat kemitraan, serta meningkatkan partisipasi aktif dari orang tua murid. Dengan demikian, kepala sekolah bisa mendapatkan dukungan penuh setiap program kerjanya.

Keterlibatan kepala sekolah dalam proses pembelajaran siswa lebih banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui pembinaan terhadap para guru dan upaya penyediaan sarana belajar yang diperlukan.
Kepala sekolah sebagai komunikator bertugas menjadi perantara untuk meneruskan instruksi kepada guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi kepada para guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi vertikal maupun masyarakat. Pola komunikasi dari sekolah pada umumnya bersifat kekeluargaan dengan memanfaatkan waktu senggang mereka. Alur penyampaian informasi berlangsung dua arah, yaitu komunikasi top-down, cenderung bersifat instruktif, sedangkan komunikasi bottom-up cenderung berisi pernyataan atau permintaan akan rincian tugas secara teknis operasional. 

Media komunikasi yang digunakan oleh kepala sekolah ialah : rapat dinas, surat edaran, buku informasi keliling, papan data, pengumuman lisan serta pesan berantai yang disampaikan secara lisan.
Dalam bidang pendidikan, yang dimaksud dengan mutu memiliki pengertian sesuai dengan makna yang terkandung dalam siklus pembelajaran. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu: sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements).2 Adapun yang dimaksud mutu sesuai dengan standar, yaitu jika salah satu aspek dalam pengelolaan pendidikan itu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja (performance), (2) feature, (3) kehandalan (reliability), (4) konfirmasi (conformance), (5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7) estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang bersifat subjektif.

Dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu,  Kepala sekolah harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
  1. Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa
  2. Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK.
  3. Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi, bukannya menciptakan rasa takut.
  4. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
  5. Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan
  6. Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba kekurangan (Boediono,1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang diharapkan.

Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) : Kepala sekolah:
(a)          Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi);
(b)         Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas);
(c)         Memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat,  dan akurat);
(d)         Memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya;
(e)          Memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai;
(f)         Memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.

Adapun peran kepala sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah menggunakan “pendekatan sistem” sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir “sebab-akibat” (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif +kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
  1. Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yang ditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuanketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya.
  1. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
  1.  Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolahmasyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
  1. Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
  1. Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
  1. Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah.
  1. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah belajar .
  1. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah).
  1.  Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
  1. Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000), terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya.

AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU

Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Disinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.

1. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.

Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.

Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

2. ILMU DAN MORAL
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.

3. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia

4. SIKAP ILMUWAN
Sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berfikir yang keliru pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berfikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya yang mengalir melalui pola-pola yang teraur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berfikir orang awam.
Kumpulan dari pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya secara ilmiah. Menurut Endrotomo Dalam ilmu dan teknologi, ilmu merupakan suatu aktivitas tertentu yang menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan pengetahuan tertentu.
Fungsi ilmu :
1. Menjelaskan, contohnya menjelaskan semua fenomena kejadian alam
2. Memprediksi,memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi
3. Mengontrol atau mengendalikan, dari hasil prediksi maka kita dapat mengontrol atau mengendalikan sesuatu yang akan terjadi

Rabu, 21 September 2011

PKB

Abstrak:
Pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Peraturan menteri ini membawa tantangan (baca: masalah) tersendiri bagi guru.
Tantangan itu antara lain adalah bagaimana guru dapat mengembangkan keprofesian berkelanjutan bagi dirinya secara optimal sedangkan kemampuan atau kompetensi guru sangat terbatas, atau fasilitasi kegiatan pengembangan diri, publikasi ilmiah, atau karya inovatif sangat sedikit. Tantangan berikutnya, bagaimana guru dapat secara “lancar” terus mengembangkan keprofesiannya jika sejak awal mereka sudah dipersyaratkan kenaikan pangkatnya dari unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Beberapa peluang dan upaya solutif dikemukakan sebagai alternatif upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan itu. Untuk itu, guru dapat bersikap berani menghadapi tantangan dan berupaya mengubah tantangan itu menjadi peluang. Prasyarat pertama untuk itu adalah niat yang baik dan the willingness to change. Semangat dan kemauan untuk mengubah keadaan yang dimulai dari diri sendiri akan menjadi pemantik berkobarnya api perubahan dalam diri kita. Guru diharapkan selalu optimis, percaya diri, dan terus berusaha mengembangkan diri dan mengembangkan keprofesiannya.

Kata kunci: pengembangan keprofesian berkelanjutan


Pendahuluan
Sebagai sebuah profesi, guru menduduki jabatan fungsional dan diatur angka kreditnya. Pengaturan angka kredit ini berkaitan dengan jenjang pangkat dan jabatan guru. Selama ini, berlaku Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Saat ini, telah ditetapkan peraturan yang baru mengenai hal di atas yaitu Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Penetapan peraturan menteri di atas berdasarkan beberapa pertimbangan, salah satunya bahwa Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan profesi dan tuntutan kompetensi guru. Perkembangan profesi guru saat ini mengalami kemajuan yang pesat. Sementara itu, tuntutan kompetensi guru juga makin banyak. Perkembangan profesi dan tuntutan kompetensi ini tentu berkaitan juga dengan angka kredit jabatan  fungsional guru itu. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan peraturan baru mengenai jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.

Pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Peraturan menteri ini membawa tantangan (baca: masalah) tersendiri bagi guru. Tantangan itu antara lain adalah bagaimana guru dapat mengembangkan keprofesian berkelanjutan bagi dirinya secara optimal sedangkan kemampuan atau kompetensi guru sangat terbatas, atau fasilitasi kegiatan pengembangan diri, publikasi ilmiah, atau karya inovatif sangat sedikit. Selama ini saja, kegiatan pengembangan profesi guru masih begitu sulit dilaksanakan guru.
Akibatnya, banyak guru “terhenti sementara” kenaikan pangkat dan jenjang jabatannya pada golongan ruang IV/a dengan jabatan Guru Pembina karena sulit memenuhi kewajiban mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) angka kredit dari unsur pengembangan rofesi. Pertanyaan berikutnya, bagaimana guru dapat secara “lancar” terus mengembangkan keprofesiannya jika sejak awal mereka sudah dipersyaratkan kenaikan pangkatnya dari unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan. Sebagai contoh, guru dengan golongan ruang III/a sudah dipersyaratkan mengumpulkan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub-unsur pengembangan diri. Sementara itu, guru dengan golongan ruang III/b yang akan naik jabatan/pangkat menjadi guru dengan golongan ruang III/c dipersyaratkan untuk mengumpulkan paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari sub-unsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif, dan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub-unsur pengembangan diri.

Sebenarnya, tantangan-tantangan (baca: masalah-masalah) itu justru dapat membuka banyak peluang bagi guru itu sendiri untuk mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Untuk itu, bagaimana guru menghadapi dan menyikapi tantangan-tantangan itu akan menjadi awal bagi terbukanya jalan atau kesempatan bagi guru untuk mengatasi permaslaahan yang mereka hadapi.
Menarik untuk disimak ajakan Menteri Pendidikan Nasional pada peringatan Hardiknas 2010 yang baru kita peringati 2 Mei lalu. “Saya ingin mengajak agar peringatan Hardiknas kali ini dapat membangkitkan rasa optimisme, percaya diri dan tentu sambil terus berusaha, karena melalui modal optimisme, percaya diri dan berusaha itulah, sesungguhnya cikal bakal bangsa ini dibangun.” Ajakan Menteri Pendidikan Nasional di atas dan tema Hardiknas 2010 yaitu “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”  dapat dijadikan inspirasi bagi para guru dalam rangka mengembangkan keprofesian berkelanjutan.

Peluang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bagi Guru

Untuk menjawab dua pertanyaan besar di atas, coba sekilas kita kaji ulang mengenai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ditetapkannya undang-undang ini telah membawa “angin segar” bagi guru. Undang-undang ini merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap profesi guru. Undang-undang itu juga menggariskan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

Guru perlu terus menerus mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik profesional. Guru, baik sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, maupun guru pembimbing, merupakan agen pembelajar sekaligus agen perubahan dalam pendidikan. Sejalan dengan hal itu, Sapa’at (2008) mengemukakan bahwa bagi guru sebagai agen pembelajar, kemauan kuat untuk terus belajar mengembangkan kemampuan profesionalismenya merupakan modalitas utama dalam memberikan kontribusinya yang optimal bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Profesi sebagai guru mengemban amanah yang berat. Amanah itu antara lain adalah mencerdaskan anak-anak didiknya sehingga mereka kelak di kemudian hari mampu menjalani kehidupannya dengan bekal pendidikan yang diberikan gurunya.  Sejalan dengan hal itu, Trimo (2008) mengemukakan bahwa pekerjaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Oleh karena itu, guru perlu bahkan harus terus mengembangkan dirinya. Usman (2004) menegaskan bahwa guru harus peka dan tanggap terhadap perubahan atau pembaharuan, terutama perubahan atau pembaharuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang terus berkembang begitu pesatnya. Guru harus senantiasa meningkatkan wawasan dan kompetensinya.

Berdasarkan uraian di atas, banyak peluang yang dapat diraih guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Dalam pengertian umum, guru dapat melaksanakan atau mengikuti pengembangan keprofesian berkelanjutan, secara mandiri atau berkelompok, dikaitkan dengan upaya meningkatkan kompetensi atau mengembangkan profesinya. Dalam pengertian khusus, guru dapat melaksanakan atau mengikuti pengembangan keprofesian berkelanjutan, baik secara mandiri atau berkelompok, dikaitkan dengan jabatan fungsional dan angka kreditnya.

Bagian Pertama: Pengembangan Diri

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan pengembangan diri adalah sebagai berikut.

1. Penyelenggaraan diklat fungsional secara mandiri

Seperti kita ketahui, bahwa diklat fungsional bagi guru jumlahnya sangat terbatas. Beberapa kegiatan lain yang hampir sejenis dengan diklat seperti kursus, penataran, atau training of trainer (ToT) juga sangat terbatas. Pihak sekolah dapat bekerja sama dengan dinas pendidikan dan/atau pemerintah setempat untuk menyelenggaraan diklat fungsional secara mandiri. Fasilitator diklat dapat memberdayakan guru yang sudah pernah mengikuti ToT pada tingkat provinsi atau bahkan tingkat nasional,  atau mengundang fasilitator dari unsur dosen perguruan tinggi atau widyasiwara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Pihak sekolah dan dinas pendidikan atau pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pidak perguruan tinggi atau LPMP untuk menyelenggarakan diklat fungsional secara mandiri. Fasilitator diklat dapat berasal dari unsur dosen dan/atau widyaiswara LPMP.

Kegiatan diklat fungsional di atas dapat menggunakan pola diklat berjenjang, dari jenjang dasar sampai jenjang tinggi. Pola jam dalam diklat juga dapat menggunakan pola 30 s.d. 80 jam sampai dengan pola lebih dari 960 jam, atau menggunakan pola 8 s.d. 29 jam sampai dengan pola lebih dari 640 jam. Diklat pun dapat dimulai dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat internasional.

2. Penyelenggaraan kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian guru secara mandiri

Kegiatan kolektif guru yang dapat meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesiannya dapat berupa:
a. Lokakarya atau kegiatan bersama (seperti kelompok kerja guru) untuk penyusunan perangkat kurikulum dan atau pembelajaran
b. Keikutsertaan pada kegiatan ilmiah (seminar, kologium dan diskusi panel), baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta.
c. Kegiatan kolektif lainnya yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru
Kegiatan kolektif guru dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan kelompok kerja guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Guru-guru dapat membentuk KKG atau MGMP, baik pada tingkat satuan pendidikan, maupun pada tingkat kecamatan atau kabupaten/kota. Pembentukan KKG atau MGMP ini dapat difasilitasi oleh pihak dinas pendidikan dan/atau unit pelaksana teknis daerah (UPTD) bidang pendidikan untuk memudahkan koordinasi dan pelaksanaannya. Melalui KKG atau MGMP, guru dapat melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya berkaitan dengan perencanaan proses pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, perbaikan/pengayaan pembelajaran, atau kegiatan lainnya.

Bagian Kedua: Publikasi Ilmiah

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan publikasi ilmiah adalah sebagai berikut.
1. Menjadi pemrasaran/narasumber pada forum ilmiah
Guru dapat menjadi pemrasaran/narasumber pada berbagai kegiatan atau forum ilmah, meliputi kegiatan seminar atau lokakarya ilmiah, dan koloqium atau diskusi lmiah. Untuk dapat menjadi pemrasaran/narasumber pada forum ilmiah guru perlu menyusun prasaran atau KTI berupa makalah. Prasyarat untuk itu tentu mengharuskan seorang guru memiliki wawasan dan perbendaharaan keilmuan dan/atau pengalaman yang luas sehingga dapat memberikan prasaran atau pandangan dalam forum ilmiah itu.
2. Mempublikasikan hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal

Berbagai kegiatan penelitian pada bidang pendidikan formal yang dapat dilakukan guru antara lain berupa penelitian eksperimen dan penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Suhardjono (2006), penelitian eksperimen atau PTK, lebih diharapkan dilakukan guru dalam upayanya menulis karya tulis ilmiah (KTI) karena dua alasan: pertama, KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya – (ini tentunya berbeda dengan KTI yang berupa laporan penelitian korelasi, penelitian diskriptif, ataupun ungkapan gagasan, yang umumnya tidak memberikan dampak langsung pada proses pembelajaran di kelasnya), dan kedua, dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, maka para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesinya.

Guru dapat melakukan kedua jenis penelitian di atas dalam rangka mengembangkan keprofesian berkelanjutan. Namun demikian, penulis lebih menyarankan agar guru melaksanakan PTK. Salah satu alasan mengapa guru perlu melaksanakan PTK karena penelitian ini dapat memberikan hasil nyata dan dampak langsung terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Untuk mengatasi kesulitan guru melaksanakan PTK, guru dapat melaksanakan PTK secara kolaboratif. Guru dapat bekerja sama dengan guru lain untuk bersama-sama melaksanakan PTK. Guru juga dapat berkolaborasi dengan pengawas sekolah/madrasah, dosen perguruan tinggi, dan/atau widyaiswara LPMP.

Guru juga dapat membuat dan mempublikasikan KTI yang berisi gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal. KTI yang berisi gagasan inovatif ini dapat bertolak dari gagasan inovatif atau kreatif guru berkaitan dengan pendidikan atau pembelajaran. Banyak hal yang dapat memunculkan gagasan inovatif guru, misalnya berkaitan dengan model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pembelajaran. Guru juga dapat memunculkan gagasan baru, misalnya berkaitan dengan penilaian hasil belajar, pengembangan diri peserta didik, atau bimbingan dan konseling.

3. Menulis buku teks pelajaran

Kegiatan publikasi ilmiah yang dapat dilaksanakan guru adalah menulis buku teks pelajaran. Peluang kegiatan in terbuka lebar bagi guru, apalagi implementasi KTSP antara lain menuntut ketersediaan buku teks pelajaran yang sesuai dengan KTSP. Pemerintah bahkan seringkali menyelenggarakan berbagai lomba berkaitan dengan penulisan buku teks pelajaran atau buk pengayaan.

Guru dapat menulis buku teks pelajaran dengan cara kolaboratif. Sebagai contoh, beberapa guru sejenis, misalnya guru kelas di SD, atau guru mata pelajaran tertentu, secara bersama-sama menulis buku pelajaran, modul/diktat, atau buku pedoman guru. Kegiatan ini juga dapat dilaksanakan melalui wadah KKG atau MGMP. Dengan demikian, beban yang terasa berat untuk menulis buku teks pelajaran di atas dapat terasa lebih ringan melalui kegiatan kolaboratif ini.

Guru juga dapat secara mandiri memulai menulis buku teks pelajaran melalui penulisan bahan ajar per satuan-satuan kompetensi, misalnya per kompetensi dasar (KD). Bahan-bahan ajar per KD ini dapat dikompilasi untuk menjadi sebuah buku, modul, atau diktat. Untuk menunjang hal ini, guru dapat menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang sudah demikian banyaknya tersedia saat ini. Guru harus “melek” TIK! Dengan sarana TIK yang demikian canggih namun relatif murah itu, guru akan sangat terbantukan.

Bagian Ketiga: Karya Inovatif

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan karya inovatif adalah sebagai berikut.

1. Menemukan teknologi tepat guna

Guru dapat menciptakan atau menemukan karya teknologi tepat guna (TTG) berkaitan dengan pendidikan atau pembelajaran. Sebagai contoh, guru kelas di SD atau guru mata pelajaran matematika menciptakan atau menemukan teknik-teknik baru dalam operasi hitung bilangan, operasi aljabar, atau operasi kalkulus. Pengembangan “jarimatika” di SD misalnya dapat merupakan sebuah karya TTG. Guru IPA misalnya menemukan teknologi pengawetan bahan pangan yang lebih efisien dan efektif.

2. Menemukan/menciptakan karya seni

Guru dapat menemukan atau menciptakan sebuah karya seni. Banyak bidang seni yang dapat dijadikan sarana untuk ini, misalnya bidang seni rupa (murni dan terapan), seni musik, seni tari, seni teater, atau seni sastra.

3. Membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum

Alat pelajaran/peraga/praktikum juga dapat dibuat atau dimodifikasi oleh guru. Guru dapat membuat “alat baru” atau memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum yang sudah ada sehingga memiliki keunggulan .dari alat pelajaran/peraga/praktikum sebelumnya. Untuk ini, guru perlu melampirkan bukti perancangan, foto/dokumentasi, bukti implementasi, termasuk laporan efektivitas penggunaan pelajaran/ peraga/praktikum dalam pembelajarn.

4. Mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.

Guru dapat mengembangkan keprofesiannya melalui dua kegiatan di atas. Kita dapat memaklumi kalau untuk mengikuti kegiatan di atas kesempatannya sangat terbatas.
Kegiatan seperti itu jarang dilakukan, tidak seperti diklat atau kegiatan ilmiah lainnya. Kalaupun ada kegiatan seperti itu, pesertanya pun terbatas dan merupakan guru-guru “pilihan”. Namun demikian, bukan berarti peluang pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan seperti di atas sangat kecil. Salah satu upaya yang dapat dilakukan misalnya mengadakan kegiatan itu melalui kerjasama antara dinas pendidikan atau pemerintah kabupaten/kota dengan LPMP. Kegiatan ini dapat menggunakani pola bottom-up, melalui kerjasama yang dirintis oleh dinas pendidikan atau pemerintah kabupaten/kota dengan menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan pihak LPMP. Dapat juga ditempuh kerjasama pemerintah provinsi  dengan pihak perguruan tinggi dan/atau pemerintah pusat untuk menyelenggarakan kegiatan seperti di atas.

Penutup

Banyak tantangan yang dihadapi guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Namun demikian, banyak pula peluang yang dapat diciptakan atau diraih guru untuk mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Peluang-peluang itu tidak saja terbuka bagi guru dengan pangkat dan golongan ruang yang sudah tinggi, namun juga bagi guru dengan pangkat dan golongan ruang yang lebih rendah. Bahkan, para calon guru pun dapat menyiasati tantangan-tantangan di atas dengan mulai menyiapkan dan melatih diri sendiri sejak menjadi calon guru.

Manajemen strategi mengajarkan bagaimana kita dapat berpikir, bersikap, dan bertindak strategis. Seorang yang berpikir strategis tentu diharapkan dapat bersikap berani menghadapi tantangan dan berupaya mengubah tantangan itu menjadi peluang. Pada gilirannya, beranilah mengambil tindakan yang tepat di antara alternatif solusi yang muncul sesuai dengan situasi, kondisi, kebutuhan, dan kepentingan guru. Prasyarat pertama untuk itu adalah niat yang baik dan the willingness to change. Semangat dan kemauan untuk mengubah keadaan yang dimulai dari diri sendiri akan menjadi pemantik berkobarnya api perubahan dalam diri kita. Tuhan sendiri mengingatkan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan yang apa pada suatu kaum atau diri seseorang selagi kaum atau orang itu tidak berupaya mengubah keadaannya sendiri.

Akhirnya, melalui tulisan kecil ini penulis mengajak para guru untuk selalu optimis, percaya diri, dan terus berusaha mengembangkan diri dan mengembangkan keprofesian. Adalah kewajiban kita sebagai pendidik untuk selalu mengubah diri menjadi lebih baik, maka Tuhan Yang Maha Kuasa akan melihat dan menilai kerja dan hasil keja kita kelak. Semoga sikap mental itu akan menjadi karakter guru dalam rangka turut membangun peradaban bangsa yang lebih baik.

Sumber Pustaka
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16
Tahun 2009 tanggal 10 November 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Sapa’at, Asep. 2008. Guru Sebagai Agen Pembelajar, (http://matematika.upi.edu, diakses 29 Februari 2008).

Suhardjono. 2006. Peningkatan Karir Tenaga Kependidikan, khususnya dalam hal Pembuatan Karya Tulis Ilmiah sebagai Kegiatan Pengembangan Profesi. Bahan Temu Konsultasi dalam Rangka Koordinasi dan Pembinaan Kepegawaian Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, Biro Kepegawaian, di Griya Astuti pada Nopember 2006.

Trimo. 2008. Pembinaan Profesional melalui Supervisi Pengajaran sebagai Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru, (http://researchengines. com/trimo70708.html  diakses 23 Januari 2009).

Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Usman, Moh. Uzer. 2004. Menjadi Guru Profesional. Edisi Kedua Cet. Ke-16. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Selasa, 20 September 2011

PROFESI GURU

Apakah guru bisa menjadi pekerjaan profesional yang sejatinya?

pekerjaan profesional Meski saat ini telah lahir Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis profesi guru, tetapi untuk menjadikan guru di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya (A True Professional) tampaknya masih perlu dikaji dan direnungkan lebih jauh.
Wikipedia menyebutkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dari sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya, yakni: (1) academic qualifications – a doctoral or law degree – i.e., university college/institute; (2) expert and specialised knowledge in field which one is practising professionally; (3) excellent manual/practical and literary skills in relation to profession; (4) high quality work in (examples): creations, products, services, presentations, consultancy, primary/other research, administrative, marketing or other work endeavours; (5) a high standard of professional ethics, behaviour and work activities while carrying out one’s profession (as an employee, self-employed person, career, enterprise, business, company, or partnership/associate/colleague, etc.)
Merujuk pada pemikiran Wikipedia di atas, mari kita telaah lebih lanjut tentang guru sebagai seorang profesional. Berdasarkan kriteria yang pertama, seorang guru bisa dikatakan sebagai seorang profesional yang sejatinya apabila dia memiliki latar belakang pendidikan sekurang-sekurangnya setingkat sarjana. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa untuk dapat memangku jabatan guru minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Ketentuan ini telah memacu para guru untuk berusaha meningkatkan kualiafikasi akademiknya, baik atas biaya sendiri maupun melalui bantuan bea siswa pemerintah. Walaupun, dalam beberapa kasus tertentu ditemukan ketidakselarasan dan inkonsistensi program studi yang dipilihnya. Misalnya, semula dia berlatar belakang D3 Bimbingan dan Konseling tetapi mungkin karena alasan-alasan tertentu yang sifatnya pragmatis, dia malah melanjutkan studinya pada program studi lain.
Terkait dengan kriteria kedua, guru adalah seorang ahli. Sebagai seorang ahli, maka dalam diri guru harus tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam (kemampuan kognisi atau akademik tingkat tinggi) yang terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dia harus sanggup mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya. Misalnya, seorang guru Biologi harus mampu menjelaskan, mendeskripsikan, memprediksikan dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan Biologi, walaupun dalam hal ini mungkin tidak sehebat ahli biologi (sains).
Selain memiliki pengetahuan yang tinggi dalam substansi bidang mata pelajaran yang diampunya, seorang guru dituntut pula untuk menunjukkan keterampilannya secara unggul dalam bidang pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik), seperti: keterampilan menerapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas, keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar, dan sebagainya. Keterampilan pedagogik inilah yang justru akan membedakan guru dengan ahli lain dalam bidang sains yang terkait. Untuk memperoleh keterampilan pedagogik ini, di samping memerlukan bakat tersendiri juga diperlukan latihan secara sistematis dan berkesinambungan.
Lebih dari itu, seorang guru tidak hanya sekedar unggul dalam mempraktikkan pengetahuanya tetapi juga mampu menuliskan (literary skills) segala sesuatu yang berhubungan bidang keilmuan (substansi mata pelajaran) dan bidang yang terkait pendidikan dan pembelajaran, misalnya kemampuan membuat laporan penelitian, makalah, menulis buku dan kegiatan literasi lainnya. Inilah kriteria yang ketiga dari seorang profesional.
Kriteria keempat, seorang guru dikatakan sebagai profesional yang sejatinya manakala dapat bekerja dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa.
Kepuasaan utama siswa selaku pihak yang dilayani guru terletak pada pencapaian prestasi belajar dan terkembangkannya segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui proses pembelajaran yang mendidik. Untuk bisa memberikan kepuasan ini tentunya dibutuhkan kesungguhan dan kerja cerdas dari guru itu sendiri.
Kritera terakhir, seorang guru dikatakan sebagai seorang profesioanal yang sejati apabila dia dapat berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat bekerja dengan standar yang tinggi. Beberapa produk hukum kita sudah menggariskan standar-standar yang berkaitan dengan tugas guru. Guru profesional yang sejatinya tentunya tidak hanya sanggup memenuhi standar secara minimal, tetapi akan mengejar standar yang lebih tinggi. Termasuk dalam kriteria yang kelima adalah membangun rasa kesejawatan dengan rekan seprofesi untuk bersama-sama membangun profesi dan menegakkan kode etik profesi.
Berdasarkan uraian di atas, ada sebuah refleksi bagi saya dan mungkin  juga Anda. Bahwa untuk menjadi guru dengan predikat sebagai profesional yang sejati tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh melalui proses sertifikasi. Tetapi betapa kita dituntut lebih jauh untuk terus mengasah kemampuan kita secara sungguh-sungguh  guna memenuhi  segenap kriteria yang telah dikemukakan di atas, yang salah satunya dapat dilakukan melalui usaha belajar dan terus belajar yang tiada henti.
Jika tidak, maka kita mungkin hanya akan menyandang predikat sebagai “guru-guruan”, alias pura-pura menjadi guru atau malah mungkin menjadi guru gadungan yang justru akan semakin merusak dan membahayakan pendidikan. Semoga saya dan Anda sekalian tidak termasuk kategori yang satu  ini dan mari belajar !

PROGRAM INDUKSI BAGI GURU PEMULA

Permendiknas No 27 Tahun 2010 – Program Induksi bagi Guru Pemula

Permendiknas No 27 Tahun 2010-Program Induksi bagi Guru PemulaSejak kurang lebih satu tahun ke belakang,  Program Induksi bagi Guru Pemula telah menjadi wacana publik, –khususnya di kalangan praktisi pendidikan.   Dari berbagai wacana yang berkembang, di antaranya sempat muncul  pertanyaaan, benarkah  program induksi ini akan diberlakukan di Indonesia? Akhirnya, pertanyaan itu terjawab juga, terhitung tanggal 27 Oktober 2010,  pemerintah melalui Mendiknas telah meluncurkan  regulasi baru yang dituangkan dalam Permendiknas No 27 Tahun 2010 tentang Program Induksi bagi Guru Pemula.  Peraturan ini  menjadi payung hukum resmi tentang penyelenggaraan Program Induksi bagi Guru Pemula di Indonesia.  Peraturan ini terdiri dari 14 pasal, di dalamnya  antara lain mengatur tentang: tujuan, prinsip dan teknis pelaksanaan penyelenggaraan  Program Induksi secara umum.


Kehadiran program induksi ini tampaknya semakin mempertegas komitmen pemerintah untuk menata profesi guru, karena saat ini guru telah diyakini sebagai tumpuan harapan  utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Melalui proses pembimbingan selama mengikuti program induksi ini,  diharapkan  sejak awal para guru  sudah mampu membiasakan diri  bekerja secara profesional. Hasil selama mengikuti program induksi  tentu akan menjadi bekal penting bagi guru yang bersangkutan dalam menekuni pekerjaannya pada masa-masa selanjutnya, yakni menjadi seorang guru yang profesional.
Jika disimak isi peraturan ini,  tampaknya kesuksesan program induksi ini, selain ditentukan oleh guru pemula yang bersangkutan,  juga akan bergantung pada peran dari tiga pihak lainnya  yang terlibat dalam program induksi,  yaitu: (1) pembimbing,  guru profesional yang diberi tugas untuk membimbing guru pemula; (2) kepala sekolah,  selaku atasan guru pemula yang bertugas memfasilitasi agar program induksi dapat terselenggara dengan baik, dan (3) pengawas sekolah yang bertugas membimbing dan menilai kinerja guru pemula.
Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa selama program induksi berlangsung, jangan sampai muncul praktik perpeloncoan, baik  yang dilakukan oleh pembimbing atau warga sekolah lainnya.  Program induksi justru dimaksudkan untuk melindungi para guru pemula dari berbagai praktik perpeloncoan yang dapat merusak mental guru pemula. Selama ini, meski  tidak secara terbuka, tampaknya praktik perpeloncoan terhadap para anggota  (guru dan siswa)  baru di sekolah  kadang masih  mewarnai pendidikan kita. Misalnya, diisolisasi dari kelompok atau  malah dibombardir  dengan tugas-tugas tambahan yang sangat membebani dan di luar kewajaran.
Mari kita induksi para guru pemula agar mereka menjadi matang dan profesional,  yang siap menggantikan para seniornya untuk melahirkan generasi  baru yang hebat.