Rabu, 21 September 2011

PKB

Abstrak:
Pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Peraturan menteri ini membawa tantangan (baca: masalah) tersendiri bagi guru.
Tantangan itu antara lain adalah bagaimana guru dapat mengembangkan keprofesian berkelanjutan bagi dirinya secara optimal sedangkan kemampuan atau kompetensi guru sangat terbatas, atau fasilitasi kegiatan pengembangan diri, publikasi ilmiah, atau karya inovatif sangat sedikit. Tantangan berikutnya, bagaimana guru dapat secara “lancar” terus mengembangkan keprofesiannya jika sejak awal mereka sudah dipersyaratkan kenaikan pangkatnya dari unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Beberapa peluang dan upaya solutif dikemukakan sebagai alternatif upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan itu. Untuk itu, guru dapat bersikap berani menghadapi tantangan dan berupaya mengubah tantangan itu menjadi peluang. Prasyarat pertama untuk itu adalah niat yang baik dan the willingness to change. Semangat dan kemauan untuk mengubah keadaan yang dimulai dari diri sendiri akan menjadi pemantik berkobarnya api perubahan dalam diri kita. Guru diharapkan selalu optimis, percaya diri, dan terus berusaha mengembangkan diri dan mengembangkan keprofesiannya.

Kata kunci: pengembangan keprofesian berkelanjutan


Pendahuluan
Sebagai sebuah profesi, guru menduduki jabatan fungsional dan diatur angka kreditnya. Pengaturan angka kredit ini berkaitan dengan jenjang pangkat dan jabatan guru. Selama ini, berlaku Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Saat ini, telah ditetapkan peraturan yang baru mengenai hal di atas yaitu Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Penetapan peraturan menteri di atas berdasarkan beberapa pertimbangan, salah satunya bahwa Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan profesi dan tuntutan kompetensi guru. Perkembangan profesi guru saat ini mengalami kemajuan yang pesat. Sementara itu, tuntutan kompetensi guru juga makin banyak. Perkembangan profesi dan tuntutan kompetensi ini tentu berkaitan juga dengan angka kredit jabatan  fungsional guru itu. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan peraturan baru mengenai jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.

Pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Peraturan menteri ini membawa tantangan (baca: masalah) tersendiri bagi guru. Tantangan itu antara lain adalah bagaimana guru dapat mengembangkan keprofesian berkelanjutan bagi dirinya secara optimal sedangkan kemampuan atau kompetensi guru sangat terbatas, atau fasilitasi kegiatan pengembangan diri, publikasi ilmiah, atau karya inovatif sangat sedikit. Selama ini saja, kegiatan pengembangan profesi guru masih begitu sulit dilaksanakan guru.
Akibatnya, banyak guru “terhenti sementara” kenaikan pangkat dan jenjang jabatannya pada golongan ruang IV/a dengan jabatan Guru Pembina karena sulit memenuhi kewajiban mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) angka kredit dari unsur pengembangan rofesi. Pertanyaan berikutnya, bagaimana guru dapat secara “lancar” terus mengembangkan keprofesiannya jika sejak awal mereka sudah dipersyaratkan kenaikan pangkatnya dari unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan. Sebagai contoh, guru dengan golongan ruang III/a sudah dipersyaratkan mengumpulkan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub-unsur pengembangan diri. Sementara itu, guru dengan golongan ruang III/b yang akan naik jabatan/pangkat menjadi guru dengan golongan ruang III/c dipersyaratkan untuk mengumpulkan paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari sub-unsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif, dan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub-unsur pengembangan diri.

Sebenarnya, tantangan-tantangan (baca: masalah-masalah) itu justru dapat membuka banyak peluang bagi guru itu sendiri untuk mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Untuk itu, bagaimana guru menghadapi dan menyikapi tantangan-tantangan itu akan menjadi awal bagi terbukanya jalan atau kesempatan bagi guru untuk mengatasi permaslaahan yang mereka hadapi.
Menarik untuk disimak ajakan Menteri Pendidikan Nasional pada peringatan Hardiknas 2010 yang baru kita peringati 2 Mei lalu. “Saya ingin mengajak agar peringatan Hardiknas kali ini dapat membangkitkan rasa optimisme, percaya diri dan tentu sambil terus berusaha, karena melalui modal optimisme, percaya diri dan berusaha itulah, sesungguhnya cikal bakal bangsa ini dibangun.” Ajakan Menteri Pendidikan Nasional di atas dan tema Hardiknas 2010 yaitu “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”  dapat dijadikan inspirasi bagi para guru dalam rangka mengembangkan keprofesian berkelanjutan.

Peluang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bagi Guru

Untuk menjawab dua pertanyaan besar di atas, coba sekilas kita kaji ulang mengenai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ditetapkannya undang-undang ini telah membawa “angin segar” bagi guru. Undang-undang ini merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap profesi guru. Undang-undang itu juga menggariskan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

Guru perlu terus menerus mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik profesional. Guru, baik sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, maupun guru pembimbing, merupakan agen pembelajar sekaligus agen perubahan dalam pendidikan. Sejalan dengan hal itu, Sapa’at (2008) mengemukakan bahwa bagi guru sebagai agen pembelajar, kemauan kuat untuk terus belajar mengembangkan kemampuan profesionalismenya merupakan modalitas utama dalam memberikan kontribusinya yang optimal bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Profesi sebagai guru mengemban amanah yang berat. Amanah itu antara lain adalah mencerdaskan anak-anak didiknya sehingga mereka kelak di kemudian hari mampu menjalani kehidupannya dengan bekal pendidikan yang diberikan gurunya.  Sejalan dengan hal itu, Trimo (2008) mengemukakan bahwa pekerjaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Oleh karena itu, guru perlu bahkan harus terus mengembangkan dirinya. Usman (2004) menegaskan bahwa guru harus peka dan tanggap terhadap perubahan atau pembaharuan, terutama perubahan atau pembaharuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang terus berkembang begitu pesatnya. Guru harus senantiasa meningkatkan wawasan dan kompetensinya.

Berdasarkan uraian di atas, banyak peluang yang dapat diraih guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Dalam pengertian umum, guru dapat melaksanakan atau mengikuti pengembangan keprofesian berkelanjutan, secara mandiri atau berkelompok, dikaitkan dengan upaya meningkatkan kompetensi atau mengembangkan profesinya. Dalam pengertian khusus, guru dapat melaksanakan atau mengikuti pengembangan keprofesian berkelanjutan, baik secara mandiri atau berkelompok, dikaitkan dengan jabatan fungsional dan angka kreditnya.

Bagian Pertama: Pengembangan Diri

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan pengembangan diri adalah sebagai berikut.

1. Penyelenggaraan diklat fungsional secara mandiri

Seperti kita ketahui, bahwa diklat fungsional bagi guru jumlahnya sangat terbatas. Beberapa kegiatan lain yang hampir sejenis dengan diklat seperti kursus, penataran, atau training of trainer (ToT) juga sangat terbatas. Pihak sekolah dapat bekerja sama dengan dinas pendidikan dan/atau pemerintah setempat untuk menyelenggaraan diklat fungsional secara mandiri. Fasilitator diklat dapat memberdayakan guru yang sudah pernah mengikuti ToT pada tingkat provinsi atau bahkan tingkat nasional,  atau mengundang fasilitator dari unsur dosen perguruan tinggi atau widyasiwara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Pihak sekolah dan dinas pendidikan atau pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pidak perguruan tinggi atau LPMP untuk menyelenggarakan diklat fungsional secara mandiri. Fasilitator diklat dapat berasal dari unsur dosen dan/atau widyaiswara LPMP.

Kegiatan diklat fungsional di atas dapat menggunakan pola diklat berjenjang, dari jenjang dasar sampai jenjang tinggi. Pola jam dalam diklat juga dapat menggunakan pola 30 s.d. 80 jam sampai dengan pola lebih dari 960 jam, atau menggunakan pola 8 s.d. 29 jam sampai dengan pola lebih dari 640 jam. Diklat pun dapat dimulai dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat internasional.

2. Penyelenggaraan kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian guru secara mandiri

Kegiatan kolektif guru yang dapat meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesiannya dapat berupa:
a. Lokakarya atau kegiatan bersama (seperti kelompok kerja guru) untuk penyusunan perangkat kurikulum dan atau pembelajaran
b. Keikutsertaan pada kegiatan ilmiah (seminar, kologium dan diskusi panel), baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta.
c. Kegiatan kolektif lainnya yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru
Kegiatan kolektif guru dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan kelompok kerja guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Guru-guru dapat membentuk KKG atau MGMP, baik pada tingkat satuan pendidikan, maupun pada tingkat kecamatan atau kabupaten/kota. Pembentukan KKG atau MGMP ini dapat difasilitasi oleh pihak dinas pendidikan dan/atau unit pelaksana teknis daerah (UPTD) bidang pendidikan untuk memudahkan koordinasi dan pelaksanaannya. Melalui KKG atau MGMP, guru dapat melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya berkaitan dengan perencanaan proses pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, perbaikan/pengayaan pembelajaran, atau kegiatan lainnya.

Bagian Kedua: Publikasi Ilmiah

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan publikasi ilmiah adalah sebagai berikut.
1. Menjadi pemrasaran/narasumber pada forum ilmiah
Guru dapat menjadi pemrasaran/narasumber pada berbagai kegiatan atau forum ilmah, meliputi kegiatan seminar atau lokakarya ilmiah, dan koloqium atau diskusi lmiah. Untuk dapat menjadi pemrasaran/narasumber pada forum ilmiah guru perlu menyusun prasaran atau KTI berupa makalah. Prasyarat untuk itu tentu mengharuskan seorang guru memiliki wawasan dan perbendaharaan keilmuan dan/atau pengalaman yang luas sehingga dapat memberikan prasaran atau pandangan dalam forum ilmiah itu.
2. Mempublikasikan hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal

Berbagai kegiatan penelitian pada bidang pendidikan formal yang dapat dilakukan guru antara lain berupa penelitian eksperimen dan penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Suhardjono (2006), penelitian eksperimen atau PTK, lebih diharapkan dilakukan guru dalam upayanya menulis karya tulis ilmiah (KTI) karena dua alasan: pertama, KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya – (ini tentunya berbeda dengan KTI yang berupa laporan penelitian korelasi, penelitian diskriptif, ataupun ungkapan gagasan, yang umumnya tidak memberikan dampak langsung pada proses pembelajaran di kelasnya), dan kedua, dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, maka para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesinya.

Guru dapat melakukan kedua jenis penelitian di atas dalam rangka mengembangkan keprofesian berkelanjutan. Namun demikian, penulis lebih menyarankan agar guru melaksanakan PTK. Salah satu alasan mengapa guru perlu melaksanakan PTK karena penelitian ini dapat memberikan hasil nyata dan dampak langsung terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Untuk mengatasi kesulitan guru melaksanakan PTK, guru dapat melaksanakan PTK secara kolaboratif. Guru dapat bekerja sama dengan guru lain untuk bersama-sama melaksanakan PTK. Guru juga dapat berkolaborasi dengan pengawas sekolah/madrasah, dosen perguruan tinggi, dan/atau widyaiswara LPMP.

Guru juga dapat membuat dan mempublikasikan KTI yang berisi gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal. KTI yang berisi gagasan inovatif ini dapat bertolak dari gagasan inovatif atau kreatif guru berkaitan dengan pendidikan atau pembelajaran. Banyak hal yang dapat memunculkan gagasan inovatif guru, misalnya berkaitan dengan model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pembelajaran. Guru juga dapat memunculkan gagasan baru, misalnya berkaitan dengan penilaian hasil belajar, pengembangan diri peserta didik, atau bimbingan dan konseling.

3. Menulis buku teks pelajaran

Kegiatan publikasi ilmiah yang dapat dilaksanakan guru adalah menulis buku teks pelajaran. Peluang kegiatan in terbuka lebar bagi guru, apalagi implementasi KTSP antara lain menuntut ketersediaan buku teks pelajaran yang sesuai dengan KTSP. Pemerintah bahkan seringkali menyelenggarakan berbagai lomba berkaitan dengan penulisan buku teks pelajaran atau buk pengayaan.

Guru dapat menulis buku teks pelajaran dengan cara kolaboratif. Sebagai contoh, beberapa guru sejenis, misalnya guru kelas di SD, atau guru mata pelajaran tertentu, secara bersama-sama menulis buku pelajaran, modul/diktat, atau buku pedoman guru. Kegiatan ini juga dapat dilaksanakan melalui wadah KKG atau MGMP. Dengan demikian, beban yang terasa berat untuk menulis buku teks pelajaran di atas dapat terasa lebih ringan melalui kegiatan kolaboratif ini.

Guru juga dapat secara mandiri memulai menulis buku teks pelajaran melalui penulisan bahan ajar per satuan-satuan kompetensi, misalnya per kompetensi dasar (KD). Bahan-bahan ajar per KD ini dapat dikompilasi untuk menjadi sebuah buku, modul, atau diktat. Untuk menunjang hal ini, guru dapat menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang sudah demikian banyaknya tersedia saat ini. Guru harus “melek” TIK! Dengan sarana TIK yang demikian canggih namun relatif murah itu, guru akan sangat terbantukan.

Bagian Ketiga: Karya Inovatif

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, diikuti, atau dikembangkan dalam rangka  pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan karya inovatif adalah sebagai berikut.

1. Menemukan teknologi tepat guna

Guru dapat menciptakan atau menemukan karya teknologi tepat guna (TTG) berkaitan dengan pendidikan atau pembelajaran. Sebagai contoh, guru kelas di SD atau guru mata pelajaran matematika menciptakan atau menemukan teknik-teknik baru dalam operasi hitung bilangan, operasi aljabar, atau operasi kalkulus. Pengembangan “jarimatika” di SD misalnya dapat merupakan sebuah karya TTG. Guru IPA misalnya menemukan teknologi pengawetan bahan pangan yang lebih efisien dan efektif.

2. Menemukan/menciptakan karya seni

Guru dapat menemukan atau menciptakan sebuah karya seni. Banyak bidang seni yang dapat dijadikan sarana untuk ini, misalnya bidang seni rupa (murni dan terapan), seni musik, seni tari, seni teater, atau seni sastra.

3. Membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum

Alat pelajaran/peraga/praktikum juga dapat dibuat atau dimodifikasi oleh guru. Guru dapat membuat “alat baru” atau memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum yang sudah ada sehingga memiliki keunggulan .dari alat pelajaran/peraga/praktikum sebelumnya. Untuk ini, guru perlu melampirkan bukti perancangan, foto/dokumentasi, bukti implementasi, termasuk laporan efektivitas penggunaan pelajaran/ peraga/praktikum dalam pembelajarn.

4. Mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.

Guru dapat mengembangkan keprofesiannya melalui dua kegiatan di atas. Kita dapat memaklumi kalau untuk mengikuti kegiatan di atas kesempatannya sangat terbatas.
Kegiatan seperti itu jarang dilakukan, tidak seperti diklat atau kegiatan ilmiah lainnya. Kalaupun ada kegiatan seperti itu, pesertanya pun terbatas dan merupakan guru-guru “pilihan”. Namun demikian, bukan berarti peluang pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru melalui kegiatan seperti di atas sangat kecil. Salah satu upaya yang dapat dilakukan misalnya mengadakan kegiatan itu melalui kerjasama antara dinas pendidikan atau pemerintah kabupaten/kota dengan LPMP. Kegiatan ini dapat menggunakani pola bottom-up, melalui kerjasama yang dirintis oleh dinas pendidikan atau pemerintah kabupaten/kota dengan menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan pihak LPMP. Dapat juga ditempuh kerjasama pemerintah provinsi  dengan pihak perguruan tinggi dan/atau pemerintah pusat untuk menyelenggarakan kegiatan seperti di atas.

Penutup

Banyak tantangan yang dihadapi guru dalam kaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Namun demikian, banyak pula peluang yang dapat diciptakan atau diraih guru untuk mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Peluang-peluang itu tidak saja terbuka bagi guru dengan pangkat dan golongan ruang yang sudah tinggi, namun juga bagi guru dengan pangkat dan golongan ruang yang lebih rendah. Bahkan, para calon guru pun dapat menyiasati tantangan-tantangan di atas dengan mulai menyiapkan dan melatih diri sendiri sejak menjadi calon guru.

Manajemen strategi mengajarkan bagaimana kita dapat berpikir, bersikap, dan bertindak strategis. Seorang yang berpikir strategis tentu diharapkan dapat bersikap berani menghadapi tantangan dan berupaya mengubah tantangan itu menjadi peluang. Pada gilirannya, beranilah mengambil tindakan yang tepat di antara alternatif solusi yang muncul sesuai dengan situasi, kondisi, kebutuhan, dan kepentingan guru. Prasyarat pertama untuk itu adalah niat yang baik dan the willingness to change. Semangat dan kemauan untuk mengubah keadaan yang dimulai dari diri sendiri akan menjadi pemantik berkobarnya api perubahan dalam diri kita. Tuhan sendiri mengingatkan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan yang apa pada suatu kaum atau diri seseorang selagi kaum atau orang itu tidak berupaya mengubah keadaannya sendiri.

Akhirnya, melalui tulisan kecil ini penulis mengajak para guru untuk selalu optimis, percaya diri, dan terus berusaha mengembangkan diri dan mengembangkan keprofesian. Adalah kewajiban kita sebagai pendidik untuk selalu mengubah diri menjadi lebih baik, maka Tuhan Yang Maha Kuasa akan melihat dan menilai kerja dan hasil keja kita kelak. Semoga sikap mental itu akan menjadi karakter guru dalam rangka turut membangun peradaban bangsa yang lebih baik.

Sumber Pustaka
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16
Tahun 2009 tanggal 10 November 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Sapa’at, Asep. 2008. Guru Sebagai Agen Pembelajar, (http://matematika.upi.edu, diakses 29 Februari 2008).

Suhardjono. 2006. Peningkatan Karir Tenaga Kependidikan, khususnya dalam hal Pembuatan Karya Tulis Ilmiah sebagai Kegiatan Pengembangan Profesi. Bahan Temu Konsultasi dalam Rangka Koordinasi dan Pembinaan Kepegawaian Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, Biro Kepegawaian, di Griya Astuti pada Nopember 2006.

Trimo. 2008. Pembinaan Profesional melalui Supervisi Pengajaran sebagai Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru, (http://researchengines. com/trimo70708.html  diakses 23 Januari 2009).

Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Usman, Moh. Uzer. 2004. Menjadi Guru Profesional. Edisi Kedua Cet. Ke-16. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Selasa, 20 September 2011

PROFESI GURU

Apakah guru bisa menjadi pekerjaan profesional yang sejatinya?

pekerjaan profesional Meski saat ini telah lahir Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis profesi guru, tetapi untuk menjadikan guru di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya (A True Professional) tampaknya masih perlu dikaji dan direnungkan lebih jauh.
Wikipedia menyebutkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dari sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya, yakni: (1) academic qualifications – a doctoral or law degree – i.e., university college/institute; (2) expert and specialised knowledge in field which one is practising professionally; (3) excellent manual/practical and literary skills in relation to profession; (4) high quality work in (examples): creations, products, services, presentations, consultancy, primary/other research, administrative, marketing or other work endeavours; (5) a high standard of professional ethics, behaviour and work activities while carrying out one’s profession (as an employee, self-employed person, career, enterprise, business, company, or partnership/associate/colleague, etc.)
Merujuk pada pemikiran Wikipedia di atas, mari kita telaah lebih lanjut tentang guru sebagai seorang profesional. Berdasarkan kriteria yang pertama, seorang guru bisa dikatakan sebagai seorang profesional yang sejatinya apabila dia memiliki latar belakang pendidikan sekurang-sekurangnya setingkat sarjana. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa untuk dapat memangku jabatan guru minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Ketentuan ini telah memacu para guru untuk berusaha meningkatkan kualiafikasi akademiknya, baik atas biaya sendiri maupun melalui bantuan bea siswa pemerintah. Walaupun, dalam beberapa kasus tertentu ditemukan ketidakselarasan dan inkonsistensi program studi yang dipilihnya. Misalnya, semula dia berlatar belakang D3 Bimbingan dan Konseling tetapi mungkin karena alasan-alasan tertentu yang sifatnya pragmatis, dia malah melanjutkan studinya pada program studi lain.
Terkait dengan kriteria kedua, guru adalah seorang ahli. Sebagai seorang ahli, maka dalam diri guru harus tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam (kemampuan kognisi atau akademik tingkat tinggi) yang terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dia harus sanggup mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya. Misalnya, seorang guru Biologi harus mampu menjelaskan, mendeskripsikan, memprediksikan dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan Biologi, walaupun dalam hal ini mungkin tidak sehebat ahli biologi (sains).
Selain memiliki pengetahuan yang tinggi dalam substansi bidang mata pelajaran yang diampunya, seorang guru dituntut pula untuk menunjukkan keterampilannya secara unggul dalam bidang pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik), seperti: keterampilan menerapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas, keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar, dan sebagainya. Keterampilan pedagogik inilah yang justru akan membedakan guru dengan ahli lain dalam bidang sains yang terkait. Untuk memperoleh keterampilan pedagogik ini, di samping memerlukan bakat tersendiri juga diperlukan latihan secara sistematis dan berkesinambungan.
Lebih dari itu, seorang guru tidak hanya sekedar unggul dalam mempraktikkan pengetahuanya tetapi juga mampu menuliskan (literary skills) segala sesuatu yang berhubungan bidang keilmuan (substansi mata pelajaran) dan bidang yang terkait pendidikan dan pembelajaran, misalnya kemampuan membuat laporan penelitian, makalah, menulis buku dan kegiatan literasi lainnya. Inilah kriteria yang ketiga dari seorang profesional.
Kriteria keempat, seorang guru dikatakan sebagai profesional yang sejatinya manakala dapat bekerja dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa.
Kepuasaan utama siswa selaku pihak yang dilayani guru terletak pada pencapaian prestasi belajar dan terkembangkannya segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui proses pembelajaran yang mendidik. Untuk bisa memberikan kepuasan ini tentunya dibutuhkan kesungguhan dan kerja cerdas dari guru itu sendiri.
Kritera terakhir, seorang guru dikatakan sebagai seorang profesioanal yang sejati apabila dia dapat berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat bekerja dengan standar yang tinggi. Beberapa produk hukum kita sudah menggariskan standar-standar yang berkaitan dengan tugas guru. Guru profesional yang sejatinya tentunya tidak hanya sanggup memenuhi standar secara minimal, tetapi akan mengejar standar yang lebih tinggi. Termasuk dalam kriteria yang kelima adalah membangun rasa kesejawatan dengan rekan seprofesi untuk bersama-sama membangun profesi dan menegakkan kode etik profesi.
Berdasarkan uraian di atas, ada sebuah refleksi bagi saya dan mungkin  juga Anda. Bahwa untuk menjadi guru dengan predikat sebagai profesional yang sejati tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh melalui proses sertifikasi. Tetapi betapa kita dituntut lebih jauh untuk terus mengasah kemampuan kita secara sungguh-sungguh  guna memenuhi  segenap kriteria yang telah dikemukakan di atas, yang salah satunya dapat dilakukan melalui usaha belajar dan terus belajar yang tiada henti.
Jika tidak, maka kita mungkin hanya akan menyandang predikat sebagai “guru-guruan”, alias pura-pura menjadi guru atau malah mungkin menjadi guru gadungan yang justru akan semakin merusak dan membahayakan pendidikan. Semoga saya dan Anda sekalian tidak termasuk kategori yang satu  ini dan mari belajar !

PROGRAM INDUKSI BAGI GURU PEMULA

Permendiknas No 27 Tahun 2010 – Program Induksi bagi Guru Pemula

Permendiknas No 27 Tahun 2010-Program Induksi bagi Guru PemulaSejak kurang lebih satu tahun ke belakang,  Program Induksi bagi Guru Pemula telah menjadi wacana publik, –khususnya di kalangan praktisi pendidikan.   Dari berbagai wacana yang berkembang, di antaranya sempat muncul  pertanyaaan, benarkah  program induksi ini akan diberlakukan di Indonesia? Akhirnya, pertanyaan itu terjawab juga, terhitung tanggal 27 Oktober 2010,  pemerintah melalui Mendiknas telah meluncurkan  regulasi baru yang dituangkan dalam Permendiknas No 27 Tahun 2010 tentang Program Induksi bagi Guru Pemula.  Peraturan ini  menjadi payung hukum resmi tentang penyelenggaraan Program Induksi bagi Guru Pemula di Indonesia.  Peraturan ini terdiri dari 14 pasal, di dalamnya  antara lain mengatur tentang: tujuan, prinsip dan teknis pelaksanaan penyelenggaraan  Program Induksi secara umum.


Kehadiran program induksi ini tampaknya semakin mempertegas komitmen pemerintah untuk menata profesi guru, karena saat ini guru telah diyakini sebagai tumpuan harapan  utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Melalui proses pembimbingan selama mengikuti program induksi ini,  diharapkan  sejak awal para guru  sudah mampu membiasakan diri  bekerja secara profesional. Hasil selama mengikuti program induksi  tentu akan menjadi bekal penting bagi guru yang bersangkutan dalam menekuni pekerjaannya pada masa-masa selanjutnya, yakni menjadi seorang guru yang profesional.
Jika disimak isi peraturan ini,  tampaknya kesuksesan program induksi ini, selain ditentukan oleh guru pemula yang bersangkutan,  juga akan bergantung pada peran dari tiga pihak lainnya  yang terlibat dalam program induksi,  yaitu: (1) pembimbing,  guru profesional yang diberi tugas untuk membimbing guru pemula; (2) kepala sekolah,  selaku atasan guru pemula yang bertugas memfasilitasi agar program induksi dapat terselenggara dengan baik, dan (3) pengawas sekolah yang bertugas membimbing dan menilai kinerja guru pemula.
Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa selama program induksi berlangsung, jangan sampai muncul praktik perpeloncoan, baik  yang dilakukan oleh pembimbing atau warga sekolah lainnya.  Program induksi justru dimaksudkan untuk melindungi para guru pemula dari berbagai praktik perpeloncoan yang dapat merusak mental guru pemula. Selama ini, meski  tidak secara terbuka, tampaknya praktik perpeloncoan terhadap para anggota  (guru dan siswa)  baru di sekolah  kadang masih  mewarnai pendidikan kita. Misalnya, diisolisasi dari kelompok atau  malah dibombardir  dengan tugas-tugas tambahan yang sangat membebani dan di luar kewajaran.
Mari kita induksi para guru pemula agar mereka menjadi matang dan profesional,  yang siap menggantikan para seniornya untuk melahirkan generasi  baru yang hebat.